Nggak sengaja saya bertemu dengan sosok bapak tua bernama pak naim. Waktu itu ahad pagi pas selesai kerja bhakti membersihkan musholla,
saya lihat seorang bapak bersama anak kecil sedang asyik mengail ikan
di sepanjang selokan besar samping musholla. Ketertarikan saya dengan
hal pancing-memancing membuat saya berjalan menghampirinya.
“Dapat
banyak ikannya, pak?”, sapa pembuka saya.
“Alhamdulillah, cukup banyak
meski agak kecil-kecil ikannya, mas”, jawab beliau dengan bahasa jawa
halus plus logat maduranya. Saya lihat tak kurang dari 10 ekor ikan
mujair seukuran 2-3 jari orang dewasa.
“Itu putranya, pak?”, tanya saya sambil melihat seorang anak
laki-laki kecil seusia kelas 1 atau 2 SD yang juga tengah asyik
memancing. Dugaan saya pastilah cucunya mengingat jarak usia yang cukup
jauh.
“Iya, Mas. Itu putra saya. Saya terlambat nikah”, sambut pak naim
seolah-olah tahu isi benak saya.
“Saya dulu diwanti-wanti sama orang tua
sewaktu masih nyopir. Jangan pernah main perempuan. Alhamdulillah nggak
pernah sama sekali tubrukan. Dan akhirnya saya baru menikah setelah
tidak lagi jadi sopir”, jelas beliau.
Pak Na’im beristrikan orang asli Ponorogo, sebuah kota kecil selatan
Madiun, tempat lahir saya. Sambil bercanda beliau menuturkan bahwa
Putranya sewaktu masih kecil dulu nggak suka makan lauk dari ikan karena
nggak biasa. Maklum di Ponorogo semua masih serba murah. Uang 2000
rupiah sudah dapat sate plus lontongnya. Kenyang. Ketika pindah ke
Surabaya semuanya jauh berbeda. Tapi lama kelamaan si kecil mulai bisa
menyesuaikan dengan hobi ayahnya. Sekarang libur sekolah sudah terbiasa
dibonceng ayahnya naik sepeda onthel menyusuri sungai dan selokan untuk
mengail ikan. “Digoreng sampai kering, enak buat lauk, mas”, selorohnya
sambil tersenyum.
“Kerja saya sekarang nggak tetap, mas. Kadang bersih-bersih, kadang
nguras tandon air dan kadang jadi sopir lepas. Si ibu jadi pembantu di
perumahan”, jawab beliau waktu saya tanya ttg pekerjaannya sekarang.
“Kerja itu yang penting jujur. InsyaAlloh banyak orang-orang yang
senang. Dulu pas saya mbersihkan rumah orang, saya menemukan selembar
uang 50.000. Sudah kotor tertutup debu tebal, mas. Kalo mau bisa saja
saya langsung masukkan ke saku tapi malah saya sampaikan saja ke pemilik
rumah. Bapak pemilik rumah juga bingung itu uang siapa. Akhirnya malah
diberikan ke saya”, ceritanya sambil tersenyum bahagia.
“Pernah juga saya menemukan uang di jok mobil bapak, mas. Lumayan
besar, 200 ribu. Saya laporkan juga ke bapak. Eh akhirnya juga sama,
diberikan lagi ke saya. Lha itu lho makanya, mas. Kerja itu yang penting
jujur. Banyak orang yang akan senang. Seperti bapak tadi, akhirnya kalo
ada perlu apa-apa selalu menghubungi saya karena sudah terlanjur
percaya. Rejeki datang sendiri, mas.” Saya tersenyum dan mengiyakan
pendapat pak Na’im.
Tak terasa matahari semakin terik. Jam sudah hampir
menunjukkan pukul 9. Panas mulai menyengat. Pak Na’im dan putranya masih
asyik meneruskan mancingnya. Saya pun ijin pamit pulang sambil
mengingat-ingat pelajaran tentang hidup pagi itu. Andai orang Indonesia
itu seperti beliau semua, alangkah indahnya. Semoga kita juga termasuk
di dalamnya
No comments:
Post a Comment